Demokrasi dengan Gagasan
Indonesia
mengenal istilah demokrasi sejak negeri ini merdeka, Undang-undang
kita mengadopsi sistem demokrasi perwakilan. Setelahnya, berbagai
istilah demokrasi berubah; demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin,
demokrasi pancasila, hingga sekarang beken dengan istilah demokrasi
reformasi. Perubahan istilah ini seakan hanya menjadi label yang
mengiringi era atau orde kepemimpinan di negeri ini. Istilah Orde Lama,
Orde Baru dan Orde Reformasi sebenarnya tak lebih dari sekedar batasan
masa rezim yang berkuasa. Tidak merepresentasikan kedewasaan negeri ini
dalam berdemokrasi.
Semakin beranjak usia negeri ini, semakin
kompleks juga tantangan demokrasi yang ada. Jumlah partai yang tak
kunjung menurun, korupsi dalam proses pemerintahan, biaya pemilihan umum
yang mahal, hingga tantangan terakhir dari demokrasi kita adalah
gagasan di dalam demokrasi itu sendiri.
Sudahkah kita berdemokrasi dengan gagasan ?
Saya akan mencoba membuat sebuah tingkatan kualitas dalam demokrasi
sebuah negara; demokrasi represif, demokrasi transaksional, demokrasi
pencitraan, dan demokrasi dengan gagasan. Tingkatan ini mengindikasikan
sejauh mana calon perwakilan dapat mengkomunikasikan gagasan
perubahannya, dan bagaimana para calon pemilih bisa menerima dan
merespon gagasan yang ada.
Demokrasi Represif
Fase
demokrasi ini tampaknya sudah lewat di negeri ini. Ketika rezim Soeharto
masih berkuasa, kita menemukan fakta yang sudah menjadi rahasia umum
bahwa seorang pegawai negeri sipil harus memilih partai yang berkuasa.
Pada beberapa desa/kelurahan bahkan terjadi pemaksaan pemilihan oleh
kepala desa/lurah. Pemaksaan ini bisa di ikuti oleh berbagai bentuk
intervensi bahkan intimidasi dalam berbagai skema.
Demokrasi Transaksional
Fase demokrasi ini masih terjadi pada banyak tempat di negeri ini.
Calon pemimpin tidak menawarkan gagasan, visi, misi, apalagi blueprint
pembangunan dan kebijakan. Ia hanya “menjual” kesenangan sesaat berupa
materi yang diberikan langsung kepada calon pemilih. Istilah “serangan
fajar” yang sering didengar adalah bentuk dari demokrasi transaksional.
Calon pemilih yang kurang terdidik, keadaan ekonomi lemah, serta
terbatas dalam akses informasi menjadi sasaran empuk para politisi tanpa
gagasan. Mereka “membeli” suara dari masyarakat yang bahkan tidak
pernah mengetahui kelak suaranya akan digunakan untuk apa. Akibatnya,
banyak sekali pemilih di negeri ini tidak mengetahui siapa calon
perwakilan yang mereka pilih saat pemilihan umum berlangsung. Ditambah
dengan kisruhnya pendataan calon pemilih, proses transaksional ini bisa
berlangsung dalam berbagai bentuk dan pendekatan. "Pembodohan", mungkin
istilah ini yang bisa kita ungkapkan untuk menggambarkan apa yang
dilakukan oleh calon perwakilan terhadap calon pemilihnya. Tiada proses
diskusi, tanpa ada dialog aspirasi, atau bahkan mengkomunikasikan
visi-misi. Maka tak heran, dalam berbagai survey menjelang pemilu,
negeri ini memiliki banyak sekali undecided voters (pemilih yang
ragu-ragu) hingga satu pekan menjelang pemilihan.
Apa yang
terjadi ? pemilih irasional yang terbentuk karena para politisi yang
melakukan pembodohan ini lebih memilih menunggu hingga detik terakhir,
calon mana yang mampu memberikan terbanyak secara materi untuknya.
Istilah yang beken sekarang adalah "wani piro?". Akibatnya ? mahalnya
biaya demokrasi di negeri ini. Kebutuhan dana untuk proses transaksional
ini sangatlah besar, dan ini membuat para calon perwakilan atau
pemimpin eksekutif terpaksa meminta dukungan dari pemodal besar dan
menjadikan dirinya sudah berhutang di hari pertama kepemimpinannya bila
terpilih.
Dalam konteks yang lebih luas, proses transaksional
ini terjadi juga pada tingkat komunitas. Negeri ini masih memiliki
banyak masyarakat yang sangat setia atau taat pada pemimpin kultural
atau religiusnya. Tentu bila dikaitkan dengan demokrasi transaksional,
kebiasaan ini memudahkan calon perwakilan atau pemimpin eksekutif untuk
melakukan transaksi. Karena, transaksi tidak perlu dilakukan kepada
individu, melainkan kepada pemimpin kelompok budaya atau agama tertentu.
Demokrasi Pencitraan
Berkembangnya industri pers di Negeri ini melahirkan banyak sekali
politisi yang gemar menjadi banci media. Buat mereka, media adalah
segalanya. Sangat wajar memang, dengan berkembangan teknologi informasi,
hampir seluruh rumah di negeri ini bisa mengakses televisi dan radio,
serta akses terhadap internet pada kota besar dan sekitarnya di Negeri
ini.
Masyarakat saat ini menjadi candu akan media, seakan
sehari tidak bisa berjalan bila tidak mendapatkan informasi dari media.
Pada kelompok kelas menengah di perkotaan bahkan, media dan informasi
langsung bisa di akses di tangan mereka melalui teknologi telepon
genggam yang semakin maju.
Ragamnya bentuk media serta semakin
masifnya dampak media terhadap opini, persepsi, dan pilihan masyarakat
membuat para politisi ini menjadi media sebagai alat dalam berdemokrasi.
Iklan, kesempatan berbicara, atau sekedar wawancara akan dimanfaatkan
oleh para politisi ini agar bisa menguasai opini dalam persaingan
demokrasi di negeri ini.
Media bisa jadi memberitakan apa
adanya, tetapi bisa juga media memberitakan apa yang mereka ingin
bicarakan. Tak bisa dipungkiri, banyak sekali media yang memberitakan
sesuatu berdasarkan keinginan atau preferensi pemiliknya. Itulah mengapa
kini disebut sebagai Industri Media, media tidak selamanya sebagai
komponen penyeimbang demokrasi, melainkan menjadi pemain dalam demokrasi
ini.
Berbagai bentuk pencitraan bisa dilakukan oleh media untuk
menaikkan popularitas calon tertentu, dan sebaliknya, media juga bisa
melakukan penghakiman terhadap seseorang dan dalam seketika seorang
tersebut langsung dinilai negatif oleh masyarakat luas.
Demokrasi pencitraan ini, lagi-lagi tidak didukung oleh gagasan. Mungkin
bisa di sebut juga sebagai demokrasi sinetron, karena pemilih memilih
calon berdasarkan “akting” nya di media. Ia tidak melihat gagasan,
melainkan citra yang ada.
Tentu demokrasi pencitraan ini agak lebih
baik dari transaksional. Karena bagaimana pun untuk membangun pencitraan
terdapat kerja keras atau bukti nyata yang perlu ditunjukkan. Akan
tetapi, masyarakat seringkali tidak lagi melihat visi misi calon yang
dari segi pencitraan baik. Masyarakat cenderung percaya saja terhadap
calon tersebut, bisa jadi ini juga akibat negeri ini minim pemimpin yang
bisa berikan keteladanan.
Demokrasi dengan Gagasan
Idealnya dalam proses berdemokrasi terjadi proses komunikasi gagasan.
Bahkan diskursus antara calon dan pemilih tentang gagasan yang akan di
usung seharusnya terjadi. Demokrasi berkualitas melahirkan proses
aspirasi "bottom up" yang sehat. Pemilih tidak sekedar disuguhkan
dengan informasi, melainkan punya hak dan mampu menyampaikan
aspirasinya. Sehingga terjadi dialog gagasan secara bijak.
Proses
seperti ini tentu membutuhkan politisi yang memang membawa gagasan serta
masyarakat yang mau berdiskusi tentang gagasan tersebut.
Masyarakat terdidik serta politisi yang tidak melakukan pembodohan
itulah syarat mutlak terjadinya demokrasi dengan gagasan. Partisipasi
masyarakat dalam berdemokrasi tidak hanya sekedar memilih calon
perwakilan atau pemimpin eksekutif, tetapi juga berperan dalam
menentukan arah kebijakan negeri ini.
Masyarakat cenderung tidak
dilibatkan, kekuasaan ketika telah berhasil meraih kursi langsung
eksklusif hanya untuk kelompok tertentu saja, bahkan bisa jadi ia atau
mereka lupa dengan pemilih yang pernah memilihnya.
Bagaimana Demokrasi di Negeri ini, kini ?
Negeri ini berada pada posisi antara transaksional dan pencitraan,
masih jauh dari demokrasi dengan gagasan. Hal ini membuat biaya
demokrasi menjadi sangat mahal. Tak bisa dipungkiri, demokrasi
transaksional dan pencitraan membutuhkan banyak dana. Akibatnya, para
politisi ini terjerat hutang materi dan moral dari pemodal mereka dalam
berpolitik. Sehingga tak aneh bila sudah ada hitung-hitungan kasar biaya
yang dibutuhkan untuk terpilih sebagai perwakilan daerah atau pemimpin
eksekutif; sekian Miliar untuk Bupati/Walikota dan sekian puluh Miliar
untuk Gubernur.
Negeri ini butuh beranjak lebih tinggi dalam
kualitas demokrasinya. Bila kita berkeinginan untuk memiliki produk
demokrasi yang terbaik, yaitu kesejahteraan. Teorinya adalah demokrasi
merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan. Bila sudah lebih dari 60
tahun negeri ini berdemokrasi namun kesejahteraan yang adil dan merata
terwujus, maka tentu ada yang perlu di evaluasi.
Saya melihat
kualitas demokrasi yang perlu ditingkatkan, penuh gagasan dan narasi
pembangunan yang besar. Jika ternyata kita tidak bisa atau tidak mampu,
kiranya kita perlu mengevaluasi apakah demokrasi masih layak di negeri
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar