Semoga Hari ini pikiran kita lebih terbuka bagi jalan baru yang terang menuju keberhasilan kita. Aamiin (Dede Usman)

Demokrasi dengan Gagasan

Indonesia mengenal istilah demokrasi sejak negeri ini merdeka, Undang-undang kita mengadopsi sistem demokrasi perwakilan. Setelahnya, berbagai istilah demokrasi berubah; demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, hingga sekarang beken dengan istilah demokrasi reformasi. Perubahan istilah ini seakan hanya menjadi label yang mengiringi era atau orde kepemimpinan di negeri ini. Istilah Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi sebenarnya tak lebih dari sekedar batasan masa rezim yang berkuasa. Tidak merepresentasikan kedewasaan negeri ini dalam berdemokrasi.
Semakin beranjak usia negeri ini, semakin kompleks juga tantangan demokrasi yang ada. Jumlah partai yang tak kunjung menurun, korupsi dalam proses pemerintahan, biaya pemilihan umum yang mahal, hingga tantangan terakhir dari demokrasi kita adalah gagasan di dalam demokrasi itu sendiri.

Sudahkah kita berdemokrasi dengan gagasan ?
Saya akan mencoba membuat sebuah tingkatan kualitas dalam demokrasi sebuah negara; demokrasi represif, demokrasi transaksional, demokrasi pencitraan, dan demokrasi dengan gagasan. Tingkatan ini mengindikasikan sejauh mana calon perwakilan dapat mengkomunikasikan gagasan perubahannya, dan bagaimana para calon pemilih bisa menerima dan merespon gagasan yang ada.

Demokrasi Represif
Fase demokrasi ini tampaknya sudah lewat di negeri ini. Ketika rezim Soeharto masih berkuasa, kita menemukan fakta yang sudah menjadi rahasia umum bahwa seorang pegawai negeri sipil harus memilih partai yang berkuasa. Pada beberapa desa/kelurahan bahkan terjadi pemaksaan pemilihan oleh kepala desa/lurah. Pemaksaan ini bisa di ikuti oleh berbagai bentuk intervensi bahkan intimidasi dalam berbagai skema.

Demokrasi Transaksional
Fase demokrasi ini masih terjadi pada banyak tempat di negeri ini. Calon pemimpin tidak menawarkan gagasan, visi, misi, apalagi blueprint pembangunan dan kebijakan. Ia hanya “menjual” kesenangan sesaat berupa materi yang diberikan langsung kepada calon pemilih. Istilah “serangan fajar” yang sering didengar adalah bentuk dari demokrasi transaksional. Calon pemilih yang kurang terdidik, keadaan ekonomi lemah, serta terbatas dalam akses informasi menjadi sasaran empuk para politisi tanpa gagasan. Mereka “membeli” suara dari masyarakat yang bahkan tidak pernah mengetahui kelak suaranya akan digunakan untuk apa. Akibatnya, banyak sekali pemilih di negeri ini tidak mengetahui siapa calon perwakilan yang mereka pilih saat pemilihan umum berlangsung. Ditambah dengan kisruhnya pendataan calon pemilih, proses transaksional ini bisa berlangsung dalam berbagai bentuk dan pendekatan. "Pembodohan", mungkin istilah ini yang bisa kita ungkapkan untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh calon perwakilan terhadap calon pemilihnya. Tiada proses diskusi, tanpa ada dialog aspirasi, atau bahkan mengkomunikasikan visi-misi. Maka tak heran, dalam berbagai survey menjelang pemilu, negeri ini memiliki banyak sekali undecided voters (pemilih yang ragu-ragu) hingga satu pekan menjelang pemilihan.

Apa yang terjadi ? pemilih irasional yang terbentuk karena para politisi yang melakukan pembodohan ini lebih memilih menunggu hingga detik terakhir, calon mana yang mampu memberikan terbanyak secara materi untuknya. Istilah yang beken sekarang adalah "wani piro?". Akibatnya ? mahalnya biaya demokrasi di negeri ini. Kebutuhan dana untuk proses transaksional ini sangatlah besar, dan ini membuat para calon perwakilan atau pemimpin eksekutif terpaksa meminta dukungan dari pemodal besar dan menjadikan dirinya sudah berhutang di hari pertama kepemimpinannya bila terpilih.

Dalam konteks yang lebih luas, proses transaksional ini terjadi juga pada tingkat komunitas. Negeri ini masih memiliki banyak masyarakat yang sangat setia atau taat pada pemimpin kultural atau religiusnya. Tentu bila dikaitkan dengan demokrasi transaksional, kebiasaan ini memudahkan calon perwakilan atau pemimpin eksekutif untuk melakukan transaksi. Karena, transaksi tidak perlu dilakukan kepada individu, melainkan kepada pemimpin kelompok budaya atau agama tertentu.

Demokrasi Pencitraan
Berkembangnya industri pers di Negeri ini melahirkan banyak sekali politisi yang gemar menjadi banci media. Buat mereka, media adalah segalanya. Sangat wajar memang, dengan berkembangan teknologi informasi, hampir seluruh rumah di negeri ini bisa mengakses televisi dan radio, serta akses terhadap internet pada kota besar dan sekitarnya di Negeri ini.

Masyarakat saat ini menjadi candu akan media, seakan sehari tidak bisa berjalan bila tidak mendapatkan informasi dari media. Pada kelompok kelas menengah di perkotaan bahkan, media dan informasi langsung bisa di akses di tangan mereka melalui teknologi telepon genggam yang semakin maju.

Ragamnya bentuk media serta semakin masifnya dampak media terhadap opini, persepsi, dan pilihan masyarakat membuat para politisi ini menjadi media sebagai alat dalam berdemokrasi. Iklan, kesempatan berbicara, atau sekedar wawancara akan dimanfaatkan oleh para politisi ini agar bisa menguasai opini dalam persaingan demokrasi di negeri ini.

Media bisa jadi memberitakan apa adanya, tetapi bisa juga media memberitakan apa yang mereka ingin bicarakan. Tak bisa dipungkiri, banyak sekali media yang memberitakan sesuatu berdasarkan keinginan atau preferensi pemiliknya. Itulah mengapa kini disebut sebagai Industri Media, media tidak selamanya sebagai komponen penyeimbang demokrasi, melainkan menjadi pemain dalam demokrasi ini.
Berbagai bentuk pencitraan bisa dilakukan oleh media untuk menaikkan popularitas calon tertentu, dan sebaliknya, media juga bisa melakukan penghakiman terhadap seseorang dan dalam seketika seorang tersebut langsung dinilai negatif oleh masyarakat luas.

Demokrasi pencitraan ini, lagi-lagi tidak didukung oleh gagasan. Mungkin bisa di sebut juga sebagai demokrasi sinetron, karena pemilih memilih calon berdasarkan “akting” nya di media. Ia tidak melihat gagasan, melainkan citra yang ada.
Tentu demokrasi pencitraan ini agak lebih baik dari transaksional. Karena bagaimana pun untuk membangun pencitraan terdapat kerja keras atau bukti nyata yang perlu ditunjukkan. Akan tetapi, masyarakat seringkali tidak lagi melihat visi misi calon yang dari segi pencitraan baik. Masyarakat cenderung percaya saja terhadap calon tersebut, bisa jadi ini juga akibat negeri ini minim pemimpin yang bisa berikan keteladanan.

Demokrasi dengan Gagasan
Idealnya dalam proses berdemokrasi terjadi proses komunikasi gagasan. Bahkan diskursus antara calon dan pemilih tentang gagasan yang akan di usung seharusnya terjadi. Demokrasi berkualitas melahirkan proses aspirasi "bottom up" yang sehat. Pemilih tidak sekedar disuguhkan dengan informasi, melainkan punya hak dan mampu menyampaikan aspirasinya. Sehingga terjadi dialog gagasan secara bijak.
Proses seperti ini tentu membutuhkan politisi yang memang membawa gagasan serta masyarakat yang mau berdiskusi tentang gagasan tersebut.

Masyarakat terdidik serta politisi yang tidak melakukan pembodohan itulah syarat mutlak terjadinya demokrasi dengan gagasan. Partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi tidak hanya sekedar memilih calon perwakilan atau pemimpin eksekutif, tetapi juga berperan dalam menentukan arah kebijakan negeri ini.
Masyarakat cenderung tidak dilibatkan, kekuasaan ketika telah berhasil meraih kursi langsung eksklusif hanya untuk kelompok tertentu saja, bahkan bisa jadi ia atau mereka lupa dengan pemilih yang pernah memilihnya.

Bagaimana Demokrasi di Negeri ini, kini ?
Negeri ini berada pada posisi antara transaksional dan pencitraan, masih jauh dari demokrasi dengan gagasan. Hal ini membuat biaya demokrasi menjadi sangat mahal. Tak bisa dipungkiri, demokrasi transaksional dan pencitraan membutuhkan banyak dana. Akibatnya, para politisi ini terjerat hutang materi dan moral dari pemodal mereka dalam berpolitik. Sehingga tak aneh bila sudah ada hitung-hitungan kasar biaya yang dibutuhkan untuk terpilih sebagai perwakilan daerah atau pemimpin eksekutif; sekian Miliar untuk Bupati/Walikota dan sekian puluh Miliar untuk Gubernur.

Negeri ini butuh beranjak lebih tinggi dalam kualitas demokrasinya. Bila kita berkeinginan untuk memiliki produk demokrasi yang terbaik, yaitu kesejahteraan. Teorinya adalah demokrasi merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan. Bila sudah lebih dari 60 tahun negeri ini berdemokrasi namun kesejahteraan yang adil dan merata terwujus, maka tentu ada yang perlu di evaluasi.

Saya melihat kualitas demokrasi yang perlu ditingkatkan, penuh gagasan dan narasi pembangunan yang besar. Jika ternyata kita tidak bisa atau tidak mampu, kiranya kita perlu mengevaluasi apakah demokrasi masih layak di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda